Rail Based Transport: Sudahkah Efektif di Ibukota?
- P. Lintang Mulia

- Jun 21, 2019
- 5 min read
Updated: Aug 13, 2021
Prolog
Transportasi berbasis rel di Jakarta sudah lama berkembang, sejak era Kolonial Hindia-Belanda hingga sekarang. Tetapi, sudahkah transportasi ini berfungsi secara efektif di Ibukota DKI Jakarta, dalam mengatasi kemacetan yang sudah menahun?
Era Kolonial
Kalau boleh ditelisik, sebenarnya transportasi berbasis rel (baik kereta api atau trem) sudah ada di Pulau Jawa sejak tahun 1867 ketika jalur kereta api Semarang - Vorstenlanden dibangun. Khusus di Batavia, atau kini yang disebut Jakarta, kereta api hadir di tahun 1873, saat Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) membangun jalur kereta api Batavia - Bogor.

Maju ke abad 20, jaringan rel kereta api di Batavia beserta jalur tremnya sudah berekspansi. Bahkan sudah diperbarui melalui upaya "elektrifikasi jalur", dimana anak perusahaan kereta api negara (Staatsspoorwegen/SS) yaitu Elektrische Staatsspoorwegen (ESS), memasang kabel Listrik Aliran Atas di beberapa jalur seperti Tanjung Priok - Weltervreden SS (Kemayoran) - Meester Cornelis (Jatinegara) pada tahun 1925, dan jalur Batavia Zuid (Beos/Jakarta Kota) - Buitenzorg (Bogor) pada 1927. Selain itu juga, perusahaan seperti Batavia Elektrische Tramweg Maatschappij (BETM) juga udah mulai mengelola jalur trem listrik, yang sebelumnya trem uap milik NITM (Nederlandsch-Indische Tramweg Maatschappij).
Pascakemerdekaan

Terjadi perubahan pascakemerdekaan, pada akhir 1950, Presiden Sukarno melalui Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sudiro menghapus jalur trem di Jakarta, dengan alasan menimbulkan kemacetan, tidak praktis, dan rawan kecelakaan. Trem pun digantikan oleh oplet, dan angkot. Di sisi lain, seiring dengan perkembangan ibukota yang meluas, dan bertambahnya penduduk, sarana-sarana kereta listrik bekas era Hindia-Belanda mulai diremajakan, melalui datangnya KRL Rheostatik buatan Nippon Sharyo, Jepang pada tahun 1976.
Dengan hilangnya trem, maka tingkat kemacetan semakin bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah angkot dan oplet, beserta kendaraan roda karet lainnya. Kereta api, dalam hal ini KRL pun masih belum sanggup untuk mengatasi kemacetan tersebut, dan perjalanan kereta api kerap kali terganggu, khususnya di petak jalur Jakarta Kota - Manggarai. Hal ini disebabkan oleh banyaknya perlintasan sebidang, yang juga berimbas akan kemacetan di wilayah yang dilintasi jalur tersebut. Sehingga muncul gagasan untuk membuat jalur layang di petak ini pada akhir dekade 1980.

Setelah melalui berbagai perencanaan, pembangunan jalur layang Jakarta Kota - Manggarai pun dimulai pada tahun 1988, dengan bantuan dari Jepang melalui JICA (Japan International Cooperation Agency) dan Japan Railway Technical Services, dan pembangunan jalur layang ini selesai pada tahun 1992. Meskipun kemacetan di daerah tersebut tidak menurun signifikan, setidaknya frekuensi perjalanan KRL mulai bertambah, dan pengangkutan penumpang dengan sarana KRL lebih efisien.
Era Generasi Baru: MRT dan LRT
Untuk MRT atau subway, gagasannya sendiri sudah ada pascakemerdekaan. Sekitar dekade 1950, Presiden Sukarno telah memerintahkan Gubernur Sudiro untuk menghapus jalur trem, dengan alasan yang disebutkan pada paragraf sebelumnya. Beliau bahkan lebih menginginkan jalur rel bawah tanah yang dirasa cocok bagi Jakarta pada saat itu. Hal yang sama juga didengungkan oleh gubernur selanjutnya, Soemarno, yang ingin agar jalur Jakarta Kota - Manggarai diubah menjadi jalur bawah tanah. Tetapi gagasan ini tidak kunjung terealisasi, selama puluhan tahun.
Di tahun 1985, rencana MRT kembali muncul ke permukaan. Kali ini, BJ Habibie selaku Menteri Riset dan Teknologi meminta Gubernur DKI Jakarta, Soerjadi Soedirdja untuk membuat rancangan dasar jalur MRT, dengan melibatkan konsorsium Indonesia - Jepang - Korea, Rencana ini sayangnya terkubur kembali selama belasan tahun lamanya, meskipun gubernur telah silih berganti dan memiliki keinginan yang sama, yaitu mewujudkan MRT.

Rencana pembangunan MRT tergeser, dengan gagasan pembangunan monorel pada era Sutiyoso, tetapi pembangunannya juga mengalami kegagalan. Meskipun sudah ada pilar jalur monorel, proyek yang sempat diprioritaskan menjadi proyek nasional ini gagal akibat masalah dana. Barulah pada tahun 2013, rencana MRT berhasil dieksekusi oleh Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Proyek MRT sendiri ditangani oleh PT MRT Jakarta, dengan bantuan dari Jepang, dan selesai pada tahun 2019 di masa Gubernur Anies Baswedan.

Pada tahun 2013 juga, muncul proyek kereta ringan (Light Rail Transit / LRT). LRT sendiri digadang-gadang sebagai pengganti proyek monorel yang sudah lama mangkrak, dan proyek ini digagas oleh PT LRT Jakarta (anak perusahaan Jakpro) dan BUMN PT Adhi Karya. Hingga kini, proyek LRT masih belum selesai, meskipun tahap pertama jalur LRT antara Pegangsaan Dua - Velodrome (milik PT LRT Jakarta) sedang dalam tahap uji coba publik. Proyek LRT sendiri dimasukkan kedalam Proyek Strategis Nasional oleh Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Presiden (PP) Nomor 98 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan.
Apakah Sudah Efektif?
Kehadiran ketiga transportasi ini, ditujukan untuk menjadi solusi kemacetan di Jakarta. Sudah lama sekali, kota ini menanggung beban polusi udara akibat emisi gas buang kendaraan pribadi, yang hampir setiap saat bersliweran dari titik satu ke titik lainnya di Jakarta. Hal ini akhirnya mendorong masyarakat perlahan-lahan mulai beralih menggunakan transportasi umum untuk bepergian, terutama menggunakan MRT, KRL, ataupun bus Transjakarta.
Nyatanya, MRT dan KRL mampu mengangkut ribuan penumpang yang kian hari semakin terus meningkat. Menurut penulis sendiri, naik MRT / KRL lebih nyaman ketimbang terjebak macet di jalan raya, meskipun ketika jam sibuk penumpangnya sudah ramai, tapi setidaknya mengurangi kepadatan di jalan raya, dengan daya angkutnya yang lebih banyak.

Untuk mengukur tingkat efektifitasnya, maka kita perlu lihat jarak tempuh, kemudahan integrasi, serta kenyamanan sarana. Sebagai kasusnya, jalur-jalur KRL di Jabodetabek dan sekitarnya (Green Line, Yellow Line, Red Line, Pink Line, Blue Line, dan Brown Line) mampu memangkas waktu tempuh transportasi jalan aspal. Sebagai contoh (setiap jam sibuk), dari Manggarai ke Kebayoran, perlu waktu tempuh sekitar 35 menit, kalau lewat jalan aspal mungkin bisa sekitar 1 jam - 1 jam 15 menit di jalan.
Soal integrasi dengan moda transportasinya, KRL dalam hal ini KCI perlu membenahi prasarananya, dengan membuat titik integrasi di satu tempat. Seperti di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Kota, Sudirman, Palmerah, Juanda, dan beberapa stasiun lainnya, prasarana seperti trotoar ataupun jembatan penyebrangan harus disediakan untuk memudahkan arus perpindahan penumpang ke bus / angkutan umum lainnya.
Beda sedikit dengan KRL, jangkauan MRT masih hanya sebatas jalur Lebak Bulus - Bundaran HI. Tapi jarak tempuhnya juga singkat, sebagai contoh dari Bundaran HI ke Blok M cuma perlu waktu kurang lebih 7 - 8 menit, berbeda kalo lewat jalan protokol bisa makan 10 menit, dan belum lagi kalo macet bisa 30 menit lebih. MRT pun juga memerlukan integrasi yang terpadu dengan transportasi lainnya, seperti di Stasiun Bundaran HI, yang langsung terhubung dengan halte TransJakarta.
Untuk LRT, kita belum bisa mengukur secara pasti bagaimana efektifitasnya secara waktu tempuh, karena saat ini LRT masih sebatas uji coba publik. Tetapi dilihat dari titik integrasinya, LRT perlu berbenah lagi. Sebagai contoh, jarak antara Stasiun Velodrome dengan Halte TransJakarta Pemuda Rawamangun / Halte TransJakarta Velodrome masih terbilang jauh, dan semoga kedepannya halte ini bisa disatukan, dan terkoneksi langsung / dekat dengan stasiun Velodrome

Soal kenyamanan, ketiganya memang gak bisa diragukan. KRL sudah lebih nyaman dibanding jaman dulu yang masih bau, sumpek, dan panas, KRL yang diimpor dari Jepang saat ini (meskipun berumur 20 tahun lebih) kenyamanannya masih dapat dibuktikan dengan perawatan berkala yang dilakukan oleh para teknisinya. Hal yang sama juga terjadi di LRT dan MRT, meskipun rangkaiannya masih baru, dibutuhkan perawatan yang baik dan berkala, sehingga kenyamanannya bisa dipertahankan
Satu lagi, harga tiket juga perlu diperhatiin kalo mau ngukur efektifitas transportasi berbasis rel. Ini perlu banget buat MRT dan LRT, mereka harus belajar dari KRL yang menerapkan harga tiket yang murah, jadi penumpang bisa keangkut banyak. Bagi gua sendiri, harga tiket MRT untuk Lebak Bulus - Bundaran HI masih terlalu mahal yaitu 14.000, mungkin kedepannya bisa diturunkan jadi 10.000, dan harga ini juga bisa disesuaikan lagi kalau misalnya MRT fase dua antara Bundaran HI - Kota udah jadi.
Epilog
Pendeknya, ketiga transportasi ini sebenarnya efektif di ibukota. Tetapi nyatanya, kehadiran LRT dan MRT yang agak terlambat membuat efektifitas transportasi berbasis rel kembali dipertanyakan. Kedepannya, dengan proyek LRT yang terus berjalan dan proyek MRT fase dua yang akan datang, transportasi berbasis rel menjadi semakin efektif dalam memecah kemacetan di ibukota. Hal ini juga perlu didukung oleh pemerintah daerah DKI Jakarta, dengan menciptakan akses integrasi yang mudah buat naik LRT dan MRT.
Referensi
Faradisa, Nabila Azwida. "Pengelolaan Transportasi Jabodetabek". Diakses pada 19 Juni 2019. Dikutip dari Sekretariat Kabinet Republik Indonesia <https://setkab.go.id/pengelolaan-transportasi-jabodetabek/>
Hanggoro, Hendaru Tri. "Awal Mula Jalur Layang Kereta di Indonesia". Diakses pada 18 Juni 2019. Dikutip dari Historia.id <https://historia.id/urban/articles/awal-mula-jalur-layang-kereta-di-indonesia-vYE0Q>
Hanggoro, Hendaru Tri. "Sebuah Keajaiban di Jakarta!". Diakses pada 19 Juni 2019. Dikutip dari Historia.id <https://historia.id/urban/articles/sebuah-keajaiban-di-jakarta-PGpOK>
Rahadian, Aristya. "Jalan Panjang MRT Jakarta: Dari Soeharto, Habibie, dan Jokowi". Dikutip dari CNBC <https://www.cnbcindonesia.com/news/20190325114705-16-62680/jalan-panjang-mrt-jakarta-dari-soeharto-habibie-dan-jokowi>



Comments