Sepotong Cerita Batavia: Kota Tua Jakarta
- P. Lintang Mulia

- Jun 7, 2019
- 3 min read
Updated: Feb 22, 2021
Mungkin banyak orang yang sudah pernah berkunjung ke Kota Tua Jakarta, tapi belum semuanya tahu mengenai nilai-nilai sejarah yang ada di Kota Tua
Kota Tua, merupakan pusat kota Batavia, sebelum dipindahkan ke Weltervreden (dikenal sebagai Gambir). Berdirinya kota tua tidak bisa dilepaskan dari kedatangan rombongan kapal Belanda yang berlabuh di Jayakarta pada 13 November 1596. Pada tahun 1611, Jan Pieterszoon Coen -kelak akan dikenal sebagai Gubernur Jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), membeli tahan seluas 6000 meter persegi dari Pangeran Jayakarta, yang terletak di timur muara Sungai Ciliwung. Diatas tanah tersebut, VOC membangun sebuah benteng yang dikenal sebagai Benteng Nassau
Tetapi, benteng tersebut menimbulkan masalah bagi Pangeran Jayakarta, sehingga muncul konflik antara Pangeran Jayakarta -yang dibantu oleh Inggris, dengan VOC, yang dibantu oleh Banten. Meskipun Pangeran Jayakarta telah disingkirkan, VOC berbalik untuk menyingkirkan Banten, dengan alasan agar Banten tidak merebut Jayakarta. Sehingga dengan jatuhnya Jayakarta ke tangan J.P. Coen, nama tempat tersebut berubah menjadi Batavia.
Coen sendiri menata Batavia seperti kota kelahirannya -sekaligus kota terpenting di negeri Belanda, Hoorn. Batavia dibentuk seperti segi empat lurus, dan dalam segi empat tersebut penduduk Batavia dari berbagai etnis tinggal di tempat-tempat yang telah ditentukan. Penduduk pribumi sendiri tidak boleh tinggal di dalam kota
Kota ini bertahan selama beberapa abad dari banyak kejadian, mulai dari penyerangan Sultan Agung pada tahun 1628 dan 1629. Tetapi karena satu dan lain hal, pusat kota dipindah ke arah selatan, daerah Weltervreden -yang dikenal sebagai Gambir
Sisa-sisa kejayaan Batavia di pusat kota lamanya masih bisa dilihat hingga sekarang. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih ada beberapa bangunan yang berdiri tegak di sekitaran Kota Tua. Diantaranya:
1. Museum Fatahillah (Museum Sejarah Jakarta)

Dikenal sebagai Stadhuis, dulunya ini kantor Gubernur Jenderal VOC (Gouverneurskantoor) setelah markasnya pindah dari Ambon ke Batavia. Gedung ini dibangun tahun 1707, oleh arsitek van De Velde, atas perintah Van Hoorn -Gubernur Jenderal VOC saat itu. Pada tahun 1710, gedung ini diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck
Bentuk bangunannya mirip dengan Istana Dam yang ada di Rotterdam, Belanda. Mengapa seperti itu? Karena VOC berusaha menciptakan miniatur kota berarsitektur Belanda di Hindia Timur, dengan kanal-kanal dan bangunan yang sedemikian rupanya sama seperti di negeri Belanda.
Gedung ini berfungsi sebagai balai kota selama dua abad, dan juga berfungsi sebagai gedung College van Schepenen (Dewan Kota) dan Raad van Justitie (Dewan Pengadilan). Tetapi pada tahun 1870, Raad van Justitie dipindahkan ke gedung baru pada tahun 1870 di dekat Stadhuis, yang kini dikenal sebagai Museum Seni Rupa.
Di bawah bangunan ini, terdapat beberapa cungkup kecil yang dipakai sebagai tempat menyimpan bola meriam, bahkan sebagai penjara! Selama beberapa waktu, beberapa pahlawan pernah dipenjara di gedung ini, tentunya di tempat yang berbeda-beda. Pangeran Diponegoro sempat dipenjara di salah satu kamar di gedung ini, dan Cut Nyak Dhien juga pernah dipenjara di sel khusus wanita yang ada di gedung ini. Pada era kolonial juga, seringkali pihak pengadilan menampilkan hukuman gantung didepan umum, yang dilakukan di teras bangunan ini, dengan tujuan menghasilkan efek jera.
Seiring dengan meluasnya perkembangan Batavia, dan meningkatnya status Batavia menjadi gemeente atau kotapraja, balai kota akhirnya dipindah ke wilayah Tanah Abang West tahun 1913, sebelum dipindah ke Koningsplein Zuid (kini Medan Merdeka Selatan) pada tahun 1919, yang menjadi lokasi Balai Kota DKI Jakarta hingga kini
Sejak tahun 1974, gedung ini dipakai sebagai Museum Sejarah Jakarta, atau Museum Fatahillah, yang memamerkan perjalanan Jakarta dari masa ke masa, serta memamerkan tata letak ruangan gedung ini, yang dipakai pada masa kolonial
2. Museum Wayang

Museum ini dahulu merupakan gereja yang disebut Oude Hollandsche Kerk, dan dibangun pada tahun 1632. Gereja ini sempat mengalami beberapa renovasi, diantaranya tahun 1733, yang dimana namanya juga berubah menjadi De Nieuwsche Hollandsche Kerk, dan tahun 1808 setelah terjadi gempa bumi.
Ketika masih menjadi Oude Hollandsche Kerk, gereja ini sempat dipakai sebagai pemakaman. Lalu juga ada dugaan bahwa jasad Jan Pieterszoon Coen -Gubernur Jenderal VOC dimakamkan disana pada tahun 1629. Sebelumnya jasad JP Coen dimakamkan di Stadhuis, sebelum dipindahkan ke gereja tersebut. Tetapi ada juga yang menyebutkan, bahwa jasad JP Coen dibawa dan dikubur oleh pasukan Mataram di Imogiri, yang dimana saat itu juga terjadi serangan Mataram ke Batavia. Hingga kini, jasadnya tidak diketahui keberadaannya, yang tersisa hanyalah plakat atau monumen untuk mengenang jasa JP Coen

Di tahun 1936, gedung ini dibeli oleh lembaga penelitian Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, dan dibuka sebagai museum pada tahun 1939 oleh Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, dengan nama De Oude Bataviasche Museum.
Tahun 1976, museum ini diubah menjadi Museum Wayang oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang masih beroperasi hingga kini. Di museum ini, tersimpan ratusan koleksi wayang dari penjuru nusantara dan beberapa negara luar, seperti Wayang Kulit Purwa, Wayang Kulit Bali, Wayang Madya, Wayang Sasak, Wayang Golek Sunda, dan Wayang Siam. Setiap satu minggu sekali di hari Minggu, museum ini juga mengadakan pementasan wayang, baik wayang kulit ataupun wayang golek.
Sekian dulu buat serial sejarah kali ini, bersambung di bagian berikutnya.



















Comments